Orang-orang yang merayakan maulid mempunyai alasan-alasan dan dalil-dalil, yang paling
menonjol adalah:
1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-
Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu
adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(Q.S. Yunus 58).
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat, dan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebesar-besar rahmat, karena Allah
subhanahu wa ta’ala telah berfirman: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiyaa’ 107)
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan ayat ini yang mereka kemukakan tidak pada tempatnya, dan
penggunaan ayat yang tidak pada maksudnya, dan mereka menetapkan apa yang tidak
ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, orang yang paling tahu
tentang Al-Qur’an dan yang paling paham tentang sesuatu yang dikehendaki Allah
subhanahu wa ta’ala dari nash-nash Al-Qur’an, pemahaman mereka menyimpang
kaidah-kaidah syariah yang dipahami oleh As-Salaf Ash-Shalih dan seutama-utama
generasi dalam memahami arti dan pengambilan istinbat dari Al-Qur’an, dan Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyebutkan perkataan ulama salaf tentang
makna dari ayat ini bahwa fadhlullah (karunia Allah) adalah Al-Qur’an sedangkan
rahmat-Nya yang dimaksud adalah As-Sunnah.
2. Terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam ketika sampai di Madinah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan
orang-orang Yahudi melakukan puasa Asy-Syura, maka beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bertanya kepada mereka, mereka menjawab: “Dia itu hari di mana Allah
menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa maka kami puasa sebagai rasa
syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Saya lebih berhak dari kalian terhadap Musa as “. Maka beliau shallallahu
‘alaihi wasallam berpuasa padanya (pada hari Asy-Syura yaitu hari yang ke sepuluh di
bulan Muharram) dan memerintahkan untuk puasa padanya. Mereka berkata nikmat
yang mana lebih besar dari nikmat keluarnya Nabi rahmah ke dunia ini pada hari
tersebut, dan dengan demikian sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala
atas nikmat ini kita harus merayakannya.
Jawabannya:
Pengambilan dalil dengan hadits puasa hari Asy -Syura adalah pengambilan dalil yang
batil dan qiyas yang rusak dikarenakan kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas nikmat diutusnya Nabi ini bukan atas kelahirannya, saya tambah lagi
bahwa puasa hari Asy-Syura disyariatkan dan disukai berdasarkan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau tidak mensyariatkan kepada kita untuk
merayakan hari kelahirannya.
3. Apa yang dikeluarkan oleh Imam Baihaqi dari Anas ra bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam meng-aqiqahi dirinya setelah kenabian, padahal kakeknya Abdul Muthalib
telah meng-aqiqahi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari ke tujuh setelah hari
kelahirannya, maka dapat diambil kesimpulan pengulangan yang dilakukan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebagai rasa syukur kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas lahirnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai rahmat kepada seluruh
alam dan perbuatan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut sekaligus sebagai
syariat kepada umatnya untuk mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
sesudahnya.
Jawabannya:
Imam Malik rahimahullah menjadikan hadits ini salah satu dari hadits-hadits yang
batil sebagaimana dinukil oleh Ibnu Rusyd dalam bab Aqiqah dari kitab “Al-
Muqaddimaat Al-Mumahhadaat”, dan hadits ini telah dilemahkan oleh para ulama
seperti Abdur Razaq dan Abu Daud dari Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dan Al-Bazzar
rahimahullah dikarenakan lemahnya salah seorang rawi yang bernama Abdullah bin
Al-Muhawwar, seumpama hadits ini shahih tetap tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
4. Urwah meriwayatkan bahwa ia berkata tentang Tsuwaibah bekas budak Abu Lahab
yang dimerdekakan olah tuannya karena gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam kemudian ia menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya
beliau bermimpi setelah matinya Abu Lahab bahwa ia di neraka, ketika ditanya
tentang keadaannya beliau menjawab ia di neraka tetapi diringankan adzabnya setiap
hari Senin karena ia telah memerdekakan Tsuwaibah karena gembira akan kelahiran
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: “Sikapnya terhadap
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dilakukan oleh Abu Lahab seorang kafir
penduduk neraka, maka lebih pantas lagi dilakukan oleh seorang muslim yang
bertauhid yang gembira akan kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbuat
semaksimal mungkin sesuai dengan kesanggupannya.
Jawabannya:
Hadits ini mursal (salah satu istilah untuk hadits yang lemah) sebagaimana
diriwayatkan oleh Bukhari dan disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
dalam kitab Fathul Bari, begitu pula mimpi dalam tidur tidak bisa dijadikan hujjah,
dan ini bertentangan dengan Al-Qur’an yang menyebutkan dalam ayat-ayatnya bahwa
amal shalih yang dilakukan oleh seorang kafir tidak dapat memberi manfaat di hari
akhirat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Dan Kami hadapi segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amalitu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Q.S.
Al-Furqan 23)
5. Mereka berkata bahwasanya perayaan maulid apabila tidak dikhususkan pada tanggal
dua belas Rabiul Awwal atau dilaksanakan di luar bulan Rabiul Awwal atau tidak
dikhususkan pada waktu-waktu tertentu maka boleh-boleh saja.
Jawabannya:
Ini pengakuan yang batil dan ucapan yang tertolak karena ibadah dan syariat itu
adalah tauqifiyyah (harus berdasarkan nash baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah),
tidak boleh kita beribadah dengan tata cara tertentu yang tidak terdapat dalam syariat
meskipun dalam bentuk dzikrullah, atau membaca sirah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, kenyatannya juga membuktikan bahwa perayaan maulid banyak dilakukan
pada bulan Rabiul Awwal.
6. Sesungguhnya maulid itu pertemuan untuk berdzikir, shadaqah, memuji dan
mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam , dan perkara-perkara ini dituntut
oleh syariat dan perbuatan yang terpuji, banyak keterangan-keterangan yang shahih
menganjurkan hal -hal tersebut.
Jawabannya:
Benar, banyak hadits-hadits yang shahih menganjurkan untuk berdzikir kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, shadaqah, dan yang lainnya. Tetapi tidak ada satu
keteranganpun yang menganjurkan untuk berkumpul secara khusus, dengan bentuk
dan waktu yang khusus pula, begitu pula dzikir-dzikir dan do’a-do’a yang biasa dibaca
pada malam tersebut tidak ada asalnya dalam syariat dan tidak ada dalilnya dari
wahyu, dan bait-bait syair yang dibacakan berisikan hal -hal yang berlebih-lebihan dan
kebatilan di dalamnya.
7. Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya bahwa
seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang puasa hari
Senin, maka beliau menjawab kepadanya: “Dia itu hari di mana saya lahir dan pada
hari itu pula wahyu diturunkan kepada saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengagungkan hari Senin dikarenakan hari kelahirannya, kemudian mereka memilih
hari kelahirannya yaitu pada tanggal dua belas Rabiul Awwal dengan
mengagungkannya dan merayakannya.
Jawabannya:
Yang diminta pada hari Senin setiap seminggu sekali adalah puasanya, tidak lebih dari
itu, maka mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berpuasa di hari Senin
saja, tidak terikat dengan tanggal tertentu, sedangkan mereka mengkhususkannya
satu hari dalam setahun pada bulan Rabiul Awwal, ditambah lagi bahwa mereka tidak
mengagungkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa pada setiap
hari Senin yang mempunyai banyak keutamaan, tetapi mereka mengagungkannya
dengan makan dan minum dan menabuh rebana, ini sekurang-kurangnya, padahal
sebagaimana telah diketahui olehmu bahwa ibadah itu adalah tauqifiyyah sehingga
mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah dan bertaqarrub (mendekatkan diri
pada Allah subhanahu wa ta’ala) secara tertentu pula membutuhkan kepada dalil
syar’i dan nyatanya tidak ada dalilnya atas perbuatan bid’ah tersebut. Dan jangan lupa
pula sebagaimana telah kami sebutkan bahwa pada tanggal dua belas Rabiul Awwal
adalah hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terputusnya wahyu dari
langit ini yang masyhur dari ulama Salaf. Maka katakanlah kepadaku demi Rabbmu
apakah engkau merayakan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau hari
kelahirannya? Apakah mungkin menyatukan antara keduanya?
Penutup
Sesungguhnya saya yakin bahwa imanmu, ketaqwaanmu, ketaatanmu kepada kekasihmu
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, penguatanmu terhadap syariatnya atas hawa
nafsumu dan pendapatmu serta pendapat manusia, saya yakin bahwa hal itu semua
mengatakan kepadamu :
"Janganlah kamu merayakan Maulid"
Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada Nabi kita dan keluarganya serta para
shahabatnya sekalian.
0 komentar:
Posting Komentar