Home » » Kebutuhan Manusia terhadap Hadist

Kebutuhan Manusia terhadap Hadist

Written By Nazeeh Masyhudi on Rabu, 22 Februari 2012 | Rabu, Februari 22, 2012

Setiap faham, ajaran, atau agama haruslah memiliki sumber rujukan, dimana setiap orang bisa mengetahui dengan pasti kandungan dari faham tersebut. Demikian halnya dengan Islam, sumber ajarannya adalah alqur'an dan hadits Nabi saw. Setiap orang yang ingin mengetahui ajaran Islam, dapat merujuk kepada dua sumber itu. Dan tak seorangpun dapat mengatasnamakan Islam tanpa merefer kepada dua sumber tadi. Jika tidak ia dapat dikatakan mengada-ada Kenapa kita memerlukan hadits?
1. Ini sudah merupakan Perintah yang datang dari Allah Swt. Dalam sejumlah ayat, umat Islam diperintah untuk taat kepada RasulNya. Perintah taat itu berdampingan dengan perintah taat kepada Allah SWT dalam satu ayat. Umpamanya : "Hai orang-Orang yang beriman, patuhlah kamu kepada Allah dan patuhlah kepada RasulNya. Perintah seperti ini berulang dalam sejumlah ayat dengan bobot perintah yang sama. Kadang dengan munculnya kata 'athi'u' berulang dua kali. Kadang dengan bentuk 'athof' (diikutsertakan). Ini dapat diartikan keharusan patuh kepada Rasul sama seperti kepatuhan kepada Allah Swt sendiri.
Apa arti patuh? Artinya siap menerima apa saja yang datang dari Rasul Saw. Jika itu perintah, harus dilaksanakan. Jika itu larangan, harus ditinggalkan. Jika itu informasi, harus diakui kebenarannya, tanpa reserve (syarat). Apa yang datang dari Rasul tidak harus diuji kebenarannya kepada al-Quran yang apabila sesuai dengan alQur'an, baru diterima, jika tidak, maka bisa tidak diterima. Logika ini tidak dapat diterima dalam berinteraksi dengan hadits Nabi. Kenapa? Karena apa yang datang dari Rasul Saw sama seperti yang datang dari Allah. Keduanya tak mungkin kontradiksi secara hakiki (diametral). Sebab Hadits sesungguhnya adalah bagian dari wahyu sebagaimana alQur'an. Dua produk yang berasal dari satu sumber, tak mungkin kontradiktif. Sebab jika demikian, akan dapat melemahkan posisi sumber itu sendiri, dan itu mustahil pada hak Allah Swt. Keduanya senantiasa berjalan secara paralel.
Adapun anggapan sebagian kalangan bahwa telah terjadi pertentangan antara beberapa Hadits dengan alQur'an, sebenarnya penyebabnya adalah karena keterbatasan pengetahuan kita atas dua sumber tersebut. Maksudnya klaim pertentangan itu lebih disebabkan kelemahan pada kemampuan pihak yang mengklaim itu, bukan pada teks-teks dari kedua sumber tadi. Yang pertama diperiksa oleh seorang peneliti, mengenai keabsahan teks sebuah hadits. Tentu hal ini memerlukan keahlian meneliti kwalitas sebuah hadits. Atau paling tidak merujuk kepada kesimpulan penilaian ahli Hadits tentang kualitas sebuah hadits. Sebuah Hadits Shohih tak mungkin bertentangan dengan Al-Qur'an. Jika terbukti hadits itu tidak shohih (lemah) dalam penilaian ahli Hadits, maka jelas di sana tidak pernah ada pertentangan. Karena berita yang lemah (dho'if) dengan sendirinya dianggap gugur. Namun jika teks hadits terbukti keshahihannya, namun masih terasa ada pertentangan, maka peneliti harus merujuk kepada komentar Ilmuwan Fiqh dan Ushul. Karena dalam kaidah dua ilmu itu, telah ada metodologi memahami secara tepat teks-teks yang tampaknya berbeda. Ini biasa disebut dengan metode al-Jam'u (kompromi). Salah satu teks itu ada yang bersifat general ('am), dan yang satunya special (khas). Maksudnya teks yang bersifat khusus adalah bentuk pengecualian atas kaidah umum. Di dalam kajian Ilmu Metodologi Hadits, bidang ini dikenal dengan sub kajian 'Ilmu Mukhtalaf al-hadits' (Ilmu yang membincangkan hadits-hadits yang sepintas lalu berbeda satu sama lain). Apabila metode kompromi tak bisa lagi diberlakukan, maka barulah tampil metode berikutnya yaitu tarjih. Yaitu menentukan mana yang lebih kuat dari dua teks yang berbeda tadi. Tentu yang dimenangkan adalah teks yang lebih kuat.
2. Kebutuhan pada Hadits Nabi juga dikarenakan fungsi Hadits itu sendiri sebagai penjelasan atas Kitab Allah. Tak semua ayat-ayat al-Qur'an itu bisa dilaksanakan berdiri sendiri. Di sana ada beberapa ayat yang pelaksanaannya sangat tergantung kepada Hadits-hadits Nabi. Jika tidak, maka ayat-ayat itu praktis tak dapat dilaksanakan secara benar. Hal ini disebabkan karena alQur'an adalah kitab yang mengatur pokok-pokok persoalan hidup, tidak menjelaskan rincian seluruh permasalahan. Dan ini wajar sekali, karena jika demikian, kitab suci itu akan setebal apa.
Sebagai misal, perintah shalat. Di dalam alQur'an keterangan mengenai shalat hanya bersifat general. Yang ada antara lain, isi perintah untuk melaksanakannya, yaitu "Aqimu ash-sholah" (dirikanlah solat). Juga ada ayat lain yang menyebutkan ruku', sujud, berdiri. Tapi untuk dijadikan sebagai pedoman praktis, tentu kita akan mengalami kesulitan. Dimulai dengan apakah shalat itu, dan diakhiri dengan apa? Apa saja perbuatan di dalam solat dan apa bacaannya dalam tiap-tiap gerakan?Bagaimana tentang rakaatnya, karena ada shalat yang dua, tiga dan empat.Berapa kali sehari? Kapan saja awal dan akhir waktunya? Bahkan apa yang tak boleh dilakukan di dalam shalat?Masalah ini semuanya tidak dijelaskan di dalam alQur'an. Tetapi secara panjang lebar dituangkan di dalam Hadits/sunnah Nabi Saw. Nabi hanya mengatakan : "Shalatlah kalian sebagaimana kalian lihat aku melaksanakan shalat." (muttafaq 'alaih).
Demikian halnya dengan rukun Islam kelima. Kalau kita periksa ayat-ayat alQur'an, maka info tentang haji sangatlah terbatas, kendatipun di dalam alQur'an ada satu surat yang namanya 'al-hajj'. Apalagi menyangkut praktek di tanah suci. Darimana manasik berawal dan dimana berakhir. Adakah diterangkan bahwa tawaf itu berputar mengelilingi ka'bah sebanyak tujuh kali, berawal dari hajarul Aswad dan berakhir juga di situ? Penjelasan detail tentang ibadah yang satu ini juga hanya didapatkan di dalam sunnah Nabi Saw. Dengan sepotong kata Nabi memerintah kita untuk mengikutinya : "Ambillah dari ku manasik haji kalian". (muttafaq 'alaih).
Jadi dari gambaran global, kita dapat pahami, bahwa prosedur ini telah dikehendaki oleh Allah Swt dalam melaksanakan dienNya. Allah swt menerangkan kewajiban-kewajiban pokok di dalam kitab suciNya, tetapi untuk penjelasan lebih lanjut, mengenai rincian, tidak ada pilihan lain, kecuali harus merujuk kepada Hadits/sunnah yang merupakan rekaman kehidupan Nabi Saw.
Keterangan ini didukung oleh ayat al-Qur'an sendiri yang menyebutkan : "Dan telah Kami turunkan kepadamu az-zikr (al-Qur'an), agar engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, semoga mereka berfikir." (an-Nahl:44 )
Jadi dalam ayat itu ada tiga unsur yang terkait satu sama lain, yaitu : 1. yang dijelaskan (al-mubayyan), yang dalam hal ini adalah al-Qur'an, 2. yang menjelaskan (al-mubayyin) yaitu Rasul, dan 3. Penjelasan (al-bayan).
Allah Swt memang sudah menunjuk Rasul sebagai pemegang otoritas untuk menjelaskan al-Qur'an. Hal itu dikarenakan ada beberapa ayat di dalam Kitab suci yang memerlukan penjelasan dari Rasul Saw.
3. Ada kabar gembira bagi golongan yang concern terhadap Hadits. Mereka nanti di hari Kiamat, bangkit dengan muka yang bercahaya sesuai dengan janji Nabi Saw dalam Hadits "Allah membuat bercahaya wajah orang yang mendengarkan haditsku, kemudian menghapal, memahami dan menyampaikan kepada orang lain seperti didengarnya".
Siapa mereka? Yaitu mereka yang terlibat dalam pemeliharaan Hadits dengan mendengarkannya,mempelajarinya, memahami, menghafal dan menyampaikan serta mengajarkan Hadits.
Sudah tentu ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi para pemerhati Hadits. Betapa tidak, karena berkecimpung dengan hadits menuntut keseriusan dan perhatian yang lebih khusus sehingga menuntut pengorbanan ekstra. Dan inilah yang telah dilakukan oleh para pengkaji Hadits. Mereka yang tekun memeriksa sanad dan kehidupan para perawi hadits. Tak sembarang orang sabar dan tekun melakukan hal itu. Wajar jika mereka nanti di hari Qiamat diberi Allah keistimewaan di antara hamba-hambaNya yang lain. 
4 Berpegang kepada Hadits merupakan Jalan selamat. Ada hal lain yang semakin menambah kuatnya keharusan berpegang kepada Hadits Nabi, dimana Rasul menerangkan bahwa yang demikian merupakan jalan selamat. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudry r.a. Nabi Saw bersabda: "Telah kutinggalkan untuk kalian dua hal; jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya kalian tak akan tersesat selamanya." (Sunan Ibnu Majah dan al-Muwatto')
Dari Hadits tersebut, dapat dipahami, bahwa berpegang hanya kepada salah satu, belum ada jaminan untuk tidak tersesat. Namun bila kita berpikir lebih dalam, tidak mungkin seseorang dikatakan berpegang kepada alQur'an, jika ia mengabaikan Hadits atau tidak mengakui eksistensi Hadits. Sebab al-Qur'an sendiri yang langsung memerintahkan kepada kaum beriman agar menerima segala yang datang dari Nabi Saw dan mematuhi segala seruannya. Jadi tak terbayang oleh akal kita, seseorang mengaku patuh kepada isi al-Qur'an, tetapi di lain sisi tidak mengakui keberadaan Hadits.
Fakta membuktikan bahwa orang-orang yang berpegang kepada Hadits menemui jalan selamat dan tidak jatuh dalam ketersesatan. Mereka yang terperosok dalam kesesatan, dengan mendakwa mendapat wahyu, bertemu dengan Jibril, memproklamirkan diri sebagai Rasul, atau membawa ajaran baru, merupakan bukti nyata bahwa keselamatan hanya didapat dengan berpegang kepada Hadits Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Media Umat - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger